PERHATIAN!!!
Penggunaan sebagian atau seluruh materi dalam portal berita ini tanpa seijin redaksi tabloidjubi.com akan dilaporkan kepada pihak berwenang sebagai tindakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang HAK CIPTA dan/atau UU RI Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Manokwari, Jubi - Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mempertimbangkan untuk melakukan langkah hukum terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal ini berkaitan dengan dikembalikannya berkas perkara dugaan pelanggaran HAM berat Wasior 2001 dan Wamena 2003 dari Kejagung RI kepada Komnas HAM RI belum lama ini.
"Kami akan melakukan pertemuan dengan para korban kasus Wasior serta elemen terkait dalam waktu dekat ini untuk menentukan langkah hukum yang dapat dilakukan sesuai amanat UUD 1945 dan aturan perundangan yang berlaku,” kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy melalui siaran persnya kepada Jubi di Manokwari, Selasa (16/1/2019).
Langkah hukum tersebut kata Warinussy, bisa didorong dari sisi hukum acara sesuai amanat UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan UU RI No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Tapi juga bisa dari sisi hukum perdata dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berkompeten.
LP3BH Manokwari memandang bahwa tindakan Jaksa Agung RI dan juga Komnas HAM RI tidak bisa dibiarkan begitu saja berlalu, tapi patut mendapat koreksi kritis melalui langkah-langkah hukum yang bertanggung-jawab.
"Hari ini Rabu (16/1/2019) kami di LP3BH telah mulai didatangi beberapa diantara para korban kasus Pelanggaran HAM Wasior yang mempertanyakan nasib kasus yang menimpa diri mereka 18 tahun lalu (2001) pasca dikembalikannya berkas perkara tersebut dari Jaksa Agung RI kepada Komnas HAM RI tanggal 27 November 2018 yang lalu,” ujarnya.
Sebelumnya, Warinussy juga menentang keras pengembalian berkas kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena tersebut karena dinilai akan memicu pilihan mekanisme Internasional
"Saya memandang bahwa langkah Kejagung RI mengembalikan 9 (sembilan) berkas peristiwa pelanggaran HAM. Termasuk Kasus Wasior-Papua Barat (2001) dan Wamena-Papua (2003). Justru bisa menjadi faktor pemicu bagi pilihan membawa persoalan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena serta kedelapan kasus lainnya tersebut dengan menggunakan mekanisme regional maupun internasional,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan Kejagung RI dalam mengembalikan ke-9 berkas perkara dugaan pelanggaran HAM Berat tersebut sama sekali tidak disertai petunjuk yang perlu dilengkapi Komnas HAM sebagai penyelidik dugaan pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana diatur di dalam UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
"Sebagai salah seorang Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, saya sama sekali tidak melihat adanya tindakan hukum yang dilakukan Kejagung RI dalam merubah status proses hukum dari penyeledikan ke penyidikan menuju kepada penuntutan sesuai amanat UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Bahkan tidak bisa menentukan siapa atau institusi apa yang bertanggung jawab dalam kasus-kasus tersebut, termasuk Wasior dan Wamena,” tukasnya.
Ia berpandangan, bahwa negara Indonesia yang diprersonifikasikan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sama sekali tidak memiliki kemauan politik dan tidak memiliki rasa malu dan tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam memenuhi komitmen dan janjinya dalam menuntaskan kasus-kasus dugaan Pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua jelang akhir periode pertama pemerintahannya.
Dengan demikian Masyarakat Papua khususnya Orang Asli Papua (OAP) sebagai korban pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena dapat mengambil langkah hukum dan politik dalam mendayagunakan mekanisme regional maupun internasional untuk mendorong dan mendesak kasus Wasior dan Wamena tersebut.
"Mekanisme regional misalnya melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Pacific Islanda Forum (PIF) di kawasan Pasifik maupun di kawasan Asia dan Eropa. Atau mekanisme internasional melalui Komisi HAM Internasional dan Dewan HAM PBB di Jenewa -Swiss. Maupun mekanisme Pengadilan Internasional. Ataupun mekanisme politik di Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB di New York- Amerika Serikat,” ujar Warinussy. (*)
SebelumnyaMathias Makambak: Pelaksanaan dana Otsus segera dievaluasi |
SelanjutnyaDiduga sosialisasikan Perdasi ilegal, Fraksi Otsus soroti Kesbangpol |